
Suara “alif, ba, ta, sha… ” terdengar lemah dari bacaan Iqro’ anak-anak yang mengaji di sebuah bekas Madrasah Nurul Huda yang terletak di kompleks Masjid Jami’ Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun, Medan.
Terlihat dua anak sedang menyimak bacaan huruf-huruf hijaiyah yang dipandu dua guru mengaji, anak lainnya menunggu giliran. Dua guru mengaji itu adalah mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Seorang guru mengajari seorang anak.
Hanya terdapat satu meja dan dua kursi panjang di dalam ruang kelas itu. Padahal untuk seukuran ruang kelas pada umumnya haruslah minimal 18 meja dengan jumlah murid 36 – 40 orang.
Lantas yang menjadi pertanyaan, kemanakah semua meja dan bangku serta anak-anaknya? Sehingga madrasah tersebut seakan-akan, hidup segan mati tak mau. Apa penyebabnya? Apakah warga dan Badan Kenaziran Masjid Jami’ Kelurahan Aur (BKMJA) tidak peduli atau menyerah untuk menghidupkan dan mengelola madrasah yang sempat jaya pada era 1980 dan 1990-an

“Kami sudah dua tahun mengajar. Ketika kami pertama kali datang ke madrasah ini, kondisinya sangat memprihatinkan. Ruang kelas penuh dengan lumpur yang terbawa air banjir. Meja dan kursinya berpatahan, tersusun seperti tumpukan barang-barang yang tak terpakai. Anak-anaknya lebih banyak bermain-main di luar dan di sungai, tidak tahu mau ngapain. Tidak ada orang dewasa yang mengajari mereka belajar dan mengaji,” ungkap Muhammad Ismail Simatupang, salah seorang mahasiswa pengajar, ditemani pengajar lainnya, Batara Novianto Manurung, kepada wartawan, Jumat (15/5) Sore.
Di madrasah yang sudah berkali-kali gonta-ganti nama dan pengurus itu, terdapat 4 ruang kelas. Tiga diantaranya berada di lantai satu, sedangkan satu lagi berada di lantai dua. Namun, hanya 2 ruangan kelas yang layak digunakan, yakni yang berada di lantai 1, sedangkan 2 ruangan lagi yang berada di lantai 1 dan 2, tidak layak pakai.
Kedua ruang kelas itu lebih mirip gudang, karena banyak terdapat inventaris Masjid Jami’ yang disimpan di ruangan tersebut. Sampah-sampah dan lumpur terbawa air banjir tertumpuk dimana-mana.
Terutama ruang kelas berada di lantai 2, yang mana dindingnya yang terbuat dari papan sudah jebol akibat rembesan air yang bocor dari atapnya yang sudah bolong. Kursi-kursi, meja dan lemari terlihat rusak parah dan dibiarkan menjadi kayu lapuk.
Melihat keprihatinan itu, timbul niat anak-anak IMM untuk membenahi madrasah dan mengajak anak-anak Kampung Aur belajar mengaji. Memang awalnya sulit, namun lama kelamaan ada hasilnya.

Para mahasiswa ini merangsang minat anak-anak untuk mengaji dengan menyediakan makanan ringan. Hasilnya satu persatu, anak-anak pun mulai mau diajari mengaji. Kondisi madrasah yang kotor pun mulai dibersihkan, dindingnya dicat, namun hanya sebatas itu.
Tetapi seiring waktu berjalan, minat anak-anak mulai kendor. Mungkin karena rangsangan tidak ada lagi. Atau sarana dan fasilitas madrasah yang tidak memadai. Yah, seperti kurangnya meja dan kursi serta sarana belajar lainnya.
“Awalnya anak-anak yang datang mengaji mencapai 20-40 orang, tapi lambat laun mulai berkurang. Sebenarnya ada meja dan kursinya, tapi hanya yang kami pakai ini yang bagus. Yang rusak disimpan di ruang kelas lainnya,” imbuh Ismail.
Ismail menambahkan, tugas mengajari anak-anak Kampung Aur dilakukan hanya seminggu 2 kali, yakni hari Jumat dan Sabtu, dimulai dari jam 16.00 sampai dengan 18.00 wib. Itu mereka lakukan secara bergantian tanpa dibayar sepeser pun. Kegiatan tersebut memang sudah programnya IMM UMSU, yang diberi nama Sosialisasi Sekolah Remaja Anak Berbasis Islam (Soserabi).
Sedangkan peran kenaziran masjid, hanya bersifat pengawas dan sesekali menyediakan buku bacaan seperti Iqra’ dan Al Quran. “Kami selalu berkoordinasi dengan pihak Kenaziran Masjid,” imbuhnya.

>>Pejabat Tak Peduli Pendidikan
Warga Kampung Aur juga menyayangkan sikap sejumlah pejabat di Sumatera Utara, khususnya Medan. Keberadaan madrasah di area masjid yang terletak di tengah-tengah Kota Medan ini luput dari perhatian mereka dan pemerintah setempat.
Bayangkan saja, hampir semua pejabat datang berkunjung ke Kampung Aur. Dimulai dari Deputi Menpera, Ketua REI Sumut, Gubernur Sumatera Utara, Walikota Medan, Anggota DPRD bahkan, calon-calon pemimpin Kota Medan dan Sumut, mulai dari Sofyan Tan, HT Erry Nuradi, hingga Effendi Simbolon, turun langsung, berbaur dengan masyarakat Kampung Aur, bahkan sampai ada yang ikut basah-basahan di air banjir.
Tetapi misi mereka mendatangi Kampung Aur, hanyalah pencitraan. Tak satu pun yang menyinggung soal keberadaan madrasah yang menjadi pusat pendidikan warga Kampung Aur.
Kehadiran mereka hanya soal keprihatinan terhadap musibah banjir yang dilanda masyarakatnya, yang ujung-ujungnya memunculkan wacana penggusuran. Padahal, banjir tersebut hanyalah bencana rutin yang menjadi santapan mereka selama berpuluh-puluh tahun. Tak ada satu pun warga yang meninggal atau pun terkena penyakit akibat banjir.
Terutama Sofyan Tan, yang kini menjabat sebagai Anggota DPR RI dari PDIP, yang sudah berkali-kali mengunjungi Kampung Aur. Pemilik sekolah Yayasan Iskandar Muda ini, bahkan sama sekali tak menyinggung soal pendidikan ketika berkunjung. Padahal saat berkampanye, Sofyan Tan berdiri tepat di depan madrasah.
Begitu juga dengan Gubernur Sumut, Gatot Pudjonugroho, tak sedikit pun menyinggung masalah pendidikan. Padahal, Gubernur Sumut ini adalah kader PKS, yang mendapatkan suara terbanyak di Kampung Aur, saat Pemilihan Gubernur kemarin.
Begitu juga dengan Drs HT Dzulmi Eldin, ketika itu dipasangkan dengan Drs Rahudman Harahap, yang menang besar di Kampung Aur, namun setelah itu tak ada kabarnya lagi.

>>Ada Asa
Untung saja ada adik-adik mahasiswa. Keberadaan mahasiswa IMM ini bagi masyarakat Kampung Aur, sangatlah terbantukan. Sebab, mereka tidak tahu lagi, kemana anak-anak mereka belajar mengaji dan agama, selepas pulang sekolah.
Namun sebagian orangtua, lebih memilih cuek, tidak mau tahu tentang ilmu pengetahuan sang anak, terutama soal ilmu agama. Sebab, orangtua semacam itu lebih mementingkan dirinya dan mengeksploitasi anak-anaknya untuk mencari uang.
“Kalau madrasahnya terawat dan pengelolaannya baik seperti dulu, pasti banyak anak-anak yang mau mengaji di madrasah ini seperti dulu,” ucap Dewi Sartika, ibu 2 anak.
Sedangkan Arsini, ibu 4 anak mengatakan, dulu dirinya menjadi pengajar di Madrasah Nurul Huda. Sehubungan dengan pergantian pengurus, madrasah itu lambat laun mulai tak terkelola dengan baik. Ditambah sarana dan fasilitas madrasah yang kurang memadai, dan juga kerap dilanda banjir, membuat pengurusnya jadi tidak bersemangat.
“Kalau sudah banjir, ruang kelas madrasahnya pasti dipenuhi lumpur. Kalau sudah begitu, anak-anak pasti tidak mengaji, karena sibuk membersihkan lumpur di rumah dan madrasah. Tapi siapa yang tahan, terus-terusan membersihkan lumpur. Kalau tak ingin kena banjir, ya dibuatlah madrasah yang bebas banjir, ” pungkas Arsini.
Sementara itu, Ketua Kenaziran Masjid Jami’ Kelurahan Aur, H Salamuddin, kepada wartawan mengatakan, memang madrasah yang terletak di samping masjid itu tak terkelola dengan baik, sehingga aktivitas belajar mengajar menjadi vakum.
Namun dua tahun belakangan ini, sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Medan, mengaktifkan kembali madrasah. Namun kehadiran sebagian mahasiswa hanyalah bersifat sementara, karena para mahasiswa tersebut sedang mengikuti study lapangan atau Kuliah Kerja Nyata. Setelah selesai, madrasah itu kembali sedia kala alias vacum.
Untuk itu pihaknya berencana akan mengaktifkan madrasah tersebut secara permanen seperti dulu. Mengingat, sebagian warga di sekitar masjid sedang krisis moral sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku anak-anak. Namun untuk melakukan itu, tentu pihak kenaziran akan membenahi madrasah secara total.
“Kita akan membangun ulang madrasah. Rencananya akan dibangun 2 lantai dengan jumlah ruangan kelas sebanyak 8 unit, lengkap dengan ruang guru. Masterplannya sudah ada, kami tinggal merapatkannya saja. Mengenai biaya, tentu jumlahnya tidak sedikit, hampir miliaran lebih. Itu bersumber dari sumbangan para jemaah, warga dan juga donatur, serta instansi terkait yang akan kita galang,” sebutnya.
Yah, semoga saja impian itu terwujud, sebab pasca madrasah tersebut tidak aktif melaksanakan proses belajar mengajar hampir 20 tahun lamanya, perubahan sikap anak-anak Kampung Aur yang dulu religius, nyaris tak terlihat lagi. #